BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Masa
Pra-sejarah
Pra sejarah atau
nirleka adalah istilah yang digunakan
untuk merujuk kepada masa dimana catatan sejarah yang tertulis belum
tersedia. Zaman praseajrah dapat dikatakan bermula pada saat terbentuknya alam
semesta, namun umumnya digunakan untuk mengacu kepada masa dimana terdapat
kehidupan di muka bumi contohnya, dinosaurus biasanya disebut hewan prasejarah
dan manusia gua disebut manusia prasejarah. Batas antara zaman prasejarah
dengan zaman sejarah adalah mulai
adanya tulisan. Hal ini menimbulkan suatu pengertian bahwa prasejarah adalah
zaman sebelum ditemukannya tulisan, sedangkan sejarah adalah zaman setelah
adanya tulisan. Berakhirnya zaman prasejarah atau dimulainya zaman sejarah
untuk setiap bangsa di dunia tidak sama tergantung dari peradaban bangsa
tersebut. Salah satu contoh yaitu bangsa Mesir sekitar tahun 4000 SM masyarakatnya sudah mengenal
tulisan, sehingga pada saat itu, bangsa Mesir sudah memasuki zaman sejarah.
Zaman prasejarah di Indonesia diperkirakan berakhir pada masa berdirinya Kerajaan Kutai, sekitar abad ke-5;
dibuktikan dengan adanya prasastiyang berbentuk yupa
yang ditemukan di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Karena tidak
terdapat peninggalan catatan tertulis dari zaman prasejarah, keterangan
mengenai zaman ini diperoleh melalui bidang-bidang seperti paleontologi, astronomi, biologi, geologi, antropologi, arkeologi.
Istilah istilah yang perlu diketahui:
Masyarakat
adalah sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya (yang diwariskan dari
generasi ke generasi), wilayah, identitas dan berinteraksi dalam suatu hubungan
sosial yang terstruktur
·
Animisme, yaitu kepercayaan kepada
arwah nenek moyang
·
Dinamisme, yaitu kepercayaan bahwa
benda-benda disekitar kita memiliki jiwa atau kekuatan.
·
totemisme, yaitu kepercayaan bahwa hewan-hewan
tertentu disekitar kita memiliki kekuatan (gaib).
·
Monoisme, yaitu kepercayaan terhadap
kekuatan tertinggi yaitu tuhan.
·
Budaya,
yaitu segala hasil akal dan budi manusia
·
Adat
istiadat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam suatu masyarakat dan
diakui semua pihak yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan.
·
Zaman
neozoikum, masa ketika bumi dalam keadaan sempurna seperti sekarang.
B.
Kepercayaan
animisme
1.
Kepercayaan
Towani Tolotang
Towani Tolotang
merupakan salah satu kelompok social di Kelurahan Amparita. Towani Tolotang
juga merupakan sebutan bagi agama yang mereka anut, kepercayaan Towani Tolotang
bersumber dari kepercayaan tentang Sawerigading, sebagai mana yang dipahami
masyarakat Bugis pada umumnya.
Dalam masyarakat
Towani Tolotang dikenal adanya pemimipin agama yang mereka sebut Uwa dan Uwatta
yang sekaligus sebagai semacam kepala suku. Kelompok Uwa danUwatta menempati
posisi tertinggi dalam system pelapisan social dikalangan masyarakat Towani
Tolotang. Sebagai pemimpin agama para Uwa dan Uwatta dijadikan sebagai panutan
dalam masyarakat, juga sebagai perantara manusia dengan Dewata
Sewwae. Kehidupan social Towani Tolotang yang nampak dalam kesehariannya
merupakan cerminan dari ajaran agama yang ada. Pola perilaku terjadi tentu
tidak terlepas dari konsep-konsep agama yang ada, hal ini dapat disaksikan pada
setiap sesi kehidupan, dimana setiap akan memulai suatu pekerjaan diperlukan
serangkaian acara serimonial keagamaan.
Towani Tolotang
meyakini bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan haruslah dilakukan upacara
atau ritual tertentu agar mendapat restu dari Dewata Sewwae, karena tanpa restu
dari Nya, sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
2.
Aluk Tudolo
Di
daerah Tana Toraja sekarang
ini masih hidup sebuah kepercayaan purba yang bernama Aluk Todolo yang lazim
juga di sebut Alukta. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli masyarakat
Toraja walaupun sekarang ini mayoritas penduduknya telah beragama terutama
agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katholik. Inti ajaran Alukta
menyatakan bahwa manusia harus menyembah kapada 3 oknum yaitu:
Ø Puang Matua sebagai pencipta segala isi
bumi
Ø Deata-deata yang jumlahnya banyak
sebagai pemelihara seluruh ciptaan Puang Matua.
Ø Tomembali Puang/Todolo sebagai pengawas
yang memperlihatkan gerak-gerik serta berkat kepada manusia keturunannya.
Menyimak hal diatas khususnya
point ke-3, maka jelaslah bahwa menurut kepercayaan mereka, manusia yang masih
hidup tidak akan terlepas dari pengawasan arwah leluhurnya yang disebut
Tomembali Puang/Todolo. Dengan kata lain arwah-arwah seseorang yang telah
meninggal tidak akan melupakan keturunannya begitu saja akan tetapi tetap
memperhatikannya. Hal itu berarti antara orang yang telah meninggal dengan
orang yang masih hidup tetap ada hubungan. Mereka juga meyakini bahwa apabila
mereka tidak memberikan berkat, nenek moyang juga bisa murka yang kemudian
mendatangkan banjir, penyakit atau gagal panen. Oleh karena itu keselarasan dan
keharmonisan harus tetap dijaga. Maka untuk itu sebelum di lepas ke alam arwah,
keluarga mengadakan serangkaian upacara sakral dengan harapan dapat diterima
disana nantinya (alam puya) dan tidak mendatangkan bencana. Selain itu pada
waktu-waktu tertentu dilaksanakan upacara untuk memperingati mereka yang biasa
dilaksanakan setelah panen yang berhasil atau suatu kondisi yang baik sebagai
ucapan syukur sebagai berkat dari leluhur mereka. Adapun fungsi hewan kurban
pada upacara Rambu Solo’ bagi orang Toraja yaitu;
Ø Akan
menentukan kedudukan arwah orang yang telah meninggal, karena diyakini bahwa
seseorang yang datang ke dunia dan pada saat meninggalnya apabila dia tidak
membawa bekal dari dunia, arwahnya tidak akan diterima Puang Matua
(Tuhan).
Ø Sebagai
suatu hal yang menentukan martabat keturunannya dalam mesyarakat yang tetap
memiliki status sosial sesuai dengan kastanya semula.
Ø Akan
menjadi patokan dalam membagi warisan si mati.
Sehubungan dengan
penjelasan di atas. Maka terlihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara orang
yang telah tiada (meninggal) dengan generasi berikutnya yang masih hidup,
sehingga nilai-nilai upacara Rambu Solo’ harus senantiasa selalu di jaga.
3. Kepercayaan
Dewata Seuwae
Sebelum masuknya
islam di sulawesi selatan, masyarakat Bugis Makassar sudah mempunyai
“kepercayaan asli” (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata
SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk
menyebut nama ‘Tuhan’ itu menunjukkan bahwa orang Bugis Makassar memiliki
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada,
religi orang Bugis – Makassar masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure’ La
Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan)
yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan
Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal), dan Turie A’rana (kehendak yang
tertinggi). Kepercayaan dengan konsep dewa
tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai anggota keluarga
dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa – dewa ini tidak bisa
langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini disebut dalam
attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Lewat
atturiolong juga diwariskan petunjuk - petunjuk normatif dalam kehidupan
bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis Makassar mengklaim
dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewa - dewa ini melalui Tomanurung
(orang yang dianggap turun dari langit / kayangan), yang menjadi penguasa
pertama seluruh dinasti kerajaan yang ada.
Istilah
Dewata SeuwaE itu dalam aksara lontaraq, dibaca dengan berbagai macam ucapan,
misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana mencerminkan sifat dan
esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis Makassar. De’watangna berarti
“yang tidak punya wujud”, “De’watangna” atau “De’batang” berarti yang tidak
bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De’ artinya tidak, sedangkan watang
(batang) berarti tubuh atau wujud. “Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang”, artinya
“Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak berayah”. Sedang dalam
Lontarak Sangkuru’ Patau’ Mulajaji sering juga digunakan istilah “Puang SeuwaE
To PalanroE”, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang
MappancajiE”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konsep “Dewata SeuwaE”
merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis – Makassar. Kepercayaan
orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung”
orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk
tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep
tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas
tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa)
yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai
penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu
berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia.
Selain itu, orang
Bugis Makassar pra-Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau
arajang. Kata “Arajang” bagi orang Bugis atau “Kalompoang” atau “Gaukang” bagi
orang Makassar berarti kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang
dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah
milik raja yang berkuasa atau yang memerintah dalam negeri. Benda-benda
tersebut berwujud tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan
perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dan lain sebagainya.
C.
Identifikasi
Kebudayaan
bugis makassar adalah kebudayaan dari suku-bangsa Bugis-Makassar yang mendalami
bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau sulawesi. Dimana terdiri atas
23 kabupaten, diantaranya dua buah kota madya. Penduduk propinsi Sulawesi
Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu, Bugis, Makassar, Toraja dan
Mandar. Orang makassar mendiami kabupaten-kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng, Maros dan Pangkajenne. Orang Toraja ialah penduduk Sulawesi Tengah,
sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan, ialah wilayah dari kabupaten
Tana-Toraja dan Mamasa (Toraja Sa’dan). Orang Mandar mendiami kabupaten Majene
dan Mamuju.
D. Sistem
Kekerabatan
Perkawinan
dalam hal mencari jodoh dalam kalangan masyarakat desanya sendiri, adat
Bugis-Makassar menetapkan sebagai perkawinan yang ideal:
§ Perkawinan
assialang marola (dalam bahasa
Makassar passialleang baji’na) antara
saudara sepupu sederajat kesatu baik pihak ayah maupun ibu.
§ Perkawinan
assialanna memang ( dalam bahasa
Makassar passialleanna) perkawinan
antara saudara sepupu sederajat kedua, baik pihak ayah maupun ibu.
§ Perkawinan
antara ripaddeppe’ mabelae (dalam
bahasa Makassar nipakambani bellaya)
perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga juga dari kedua belah pihak.
Adapun
perkawinan-perkawinan yang dilarang karena diaanggap sumbang (Salimara’) adalah :
§ Perkawinan
antara anak dengan ibu atau ayah
§ Antara
saudara-saudara kandung
§ Antara
menantu dan mertua
§ Antaran
paman atau bibi dengan kemenakannya
§ Antara
kakek dan nenek dengan cucu
E. Sistem pengetahuan
Sampai
tahu 1965, karena keadaan kekacauan terus-menerus sejak zaman jepang, zaman
revolusi, dan zaman pemberontakan kahar muzakkar, maka perkembangan di sulawesi
selatan amat terbelakang kalau dibandingkan dengan lain-lain daerah di
Indonesia walaupun demikian di kota-kota, usaha memajukan pendidikan berjalan
juga dan sudah pemulihan kembali keadaan aman, maka disamping rehabilitasi
dalam sektor-sektor ekonomi, sarana dan kehidupan kemasyarakatan pada umumnya,
usaha dari lapangan pendidikan mendapat perhatian yang khusus.
F. Mata
pencaharian
Penduduk
sulawesi selatan pada umumnya petani seperti penduduk dari lain-lain daerah di
indonesia. Di berbagai tempat di pegunungan, di pedalaman dan tempat-tempat
terpencil lainnya di sulawesi selatan seperti di daerah orang toraja, banyak
penduduk masih melakukan cocok tanam dengan teknik peladangan.
Adapun
pada orang Bugis dan Makassar yang tinggal di desa-desa di daerah pantai,
mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang penting. Memang orang
Bugis dan Makassar terkenal sebagai suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah
mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Kebudayaan
maritim dari orang Bugis-Makassar itu tidak hanya mengembangkan perahu-perahu
layar dan kepandaian berlayar yang cukup tinggi, tetapi juga meninggalkan suatu
hukum niaga dalam pelayaran, yang disebut ade’Allopi-loping
Bicaranna Pabbalu’e dan yang tertulis pada lontar Amanna Gappa dalam abad
ke-17. Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada pada orang Bugis Makassar,
akibat dari kebudayaan maritim dari abad-abad yang telah lampau itu.
G. Bahasa,
tulisan dan kesusasteraan
Orang
bugis mengucapkan bahasa Ugi dan orang makassar bahasa Mangasara. Kedua bahasa
tersebut pernah dipelajari dan diteliti secara mendalam oleh seorang ahli
bahasa Belanda B.F.Matthes, dengan mengambil berbagai sumber, kesusasteraan
tertulis yang sudah dimiliki oleh orang Bugis dan makassar itu sejak
berabad-abad lamanya. Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah bugismakassar kuno
adalah aksara lontara, sebuah sistem
huruf yang asal dari huruf sansekerta. Sejak abad permulaan abad ke-17 waktu
agama islam dan kesusasteraan islam mulai mempengaruhi sulawesi selatan, maka
kesusasteraan bugis dan makassar ditulis dalam hurub arab (aksara serang).
Naskah-naskah
kuno dari orang bugis dan makassar hanya tinggal ada yang ditulis diatas kertas
dengan pena atau lidi ijuk (kallang) dalam aksara lontara atau dalam aksara
serang. Diantara buku terpenting dalam kesusateraan bugis dan makassar adalah
buku suregaligo. Suatu himpunan amat besar dari suatu mitologi yang bagi banyak
orang bugis dan makassar masih mempunyai nilai yang keramat. Selain itu juga
mempunyai fungsi sebagai pedoman dan tata kelakuan bagi kehidupan orang,
seperti buku himpunan amanat-amanat dari nenek moyang. Buku himpunan undang
undang, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemimpin-pemimpin adat.
Kemudian ada juga himpunan-himpunan kesusasteraan yang mengandung bahan
sejarah, seperti silsilah raja dan cerita-cerita pahlawan yang dibubuhi
sifat-sifat legendari. Akhirnya ada juga banyak buku-buku yang mengandung
dongeng rakyat, catatan-catatan tentang ilmu gaib dan buku buku yang berisi
syair, nyanyian-nyanyian, teka-teki dan sebagainya
H. Teknologi
Suku
bugis di makassar sebagai salah satu pewaris bangsa bahari. Banyak bukti yang
menunjukan suku bugis piawai menguasai lautan dengan perahu layar. Perantauan
mereka sudah terkenal sejak beberapa abad lalu. Mereka tidak hanya menguasai
perairan wilayah nusantara, banyak bukti yang membuktikan bahwa sejah dahulu
pelaut bugis makassar telah sampai disemenanjung melaka, singapura, filipina,
australia, madagaskar dan lain sebagainya.
Menurut
beberapa sumber perahu yang dugunakan masyarakat pesisir ada beberapa jenis,
tetapi, pada umumnya perahu yang mereka gunakan adalah perahu kecil yang
digunakan untuk mendukung aktifitas mereka sehari-hari. Menurut leganda, perahu
besar baru mulai dipergunakan sejak zaman sawerigading seperti disebutkan dalam
lontarak ilagaligo. Sawerigading adalah putra raja luwu yang pertama kali
menggunakan perahu yang berukuran besar. Perahu tersebut dibuat dengan kekuatan
medis oleh neneknya yang bernama la toge langi selanjutnya mereka percaya bahwa
dari rakitan itulah mereka mendapatkan ilham dasar membuat perahu yang terbuat
dari lembaran-lembaran papan.
Bagi
orang lemo-lemo, mereka percaya bahwa keahlian membuat perahu yang mereka
miliki bersumber dari penemuan sawerigading demikian pula orang bira mereka
percaya bahwa keahlian berlayar yang mereka miliki sejak dahulu diwarisi dari
penemuan layar dan tali temali perahu dari sawerigading.
I.
Kesenian
Alat musik:
1)
Kecapi
Salah
satu alat musik petik tradisional sulawesi selatan khususnya suku bugis, bugis
makassar dan bugis mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan
oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua
dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.
2) Sinrili
Alat
musik yang menyerupai biola cuman di mainkan dengan membaringkan dipundak
sedang sinrili di mainkan dalam keadaan pemain duduk dan alat diletakkan tegak
di depan pemainnya.
3) Gendang
Musik perkusi yang
mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana
4) Suling
Suling bambu terdiri
dari tiga jenis, yaitu: suling panjang memiliki 5 lubang nada, suling calabai
sering dipadukan dengan piola kecapi dimainkan bersama penyanyi, dan suling dupa samping.
Seni tari:
§ Tari pelangi tarian
pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
§ Tari paduppa bosara,
tarian yang menggambarkan bahwa orang bugis jika kedatangan tamu senantiasa
menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
§ Tari pattenung,
tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang
menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuan-peremupuan bugis.
§ Tari pajoge’ dan tari
anak masari, tarian ini dilakukan oleh calabai (waria), namun jenis tarian ini
sulit sekali ditemukan bahkan dikatergorikan telah punah.
§ Jenis tarian yang
lain adalah tari pangayo, tari passassa, tari pa’galung, dan tari pabbatte
(biasanya di gelar pada saat pesta panen).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Pra
sejarah atau nirleka adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa dimana catatan
sejarah yang tertulis belum tersedia.
·
Masyarakat
adalah sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya (yang diwariskan dari
generasi ke generasi), wilayah, identitas dan berinteraksi dalam suatu hubungan
sosial yang terstruktur
·
Animisme
adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun
yang tidak bernyawa mempunyai roh. Tujuan beragama dalam animisme adalah
mengadakan hubungan baik dengan roh-roh yang ditakuti dan dihormati itu dengan
senantiasa berusaha menyenangkan hati mereka.
B. Saran
Sebaiknya budaya yang
ada di negeri kita indonesia dijaga dan dilestarikan keberadaannya agar
generasi penerus bangsa dapat melestarikan dan mengajarkan budaya-budaya
tersebut kepada generasi-generasi yang akan datang. Budaya-budaya beginilah
yang harus kita jaga keberadaannya dan dilestarikan karena ini merupakan
peninggalan nenek moyang kita yang telah mendahului kita.